Oleh: Hardono (Putra Gunung Lawu)
Disanalah aku berdiri jadi pandu ibuku.
Marilah kita berseru Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku hiduplah negeriku bangsaku rakyatku semuanya.
Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.
Hiduplah Indonesia Raya.
(W.R. Supratman)
Untuk pertama kalinya, lagu kebangsaan tersebut di atas oleh penciptanya (Wage Rudolf Supartman) telah berhasil dikumandangkan pada Konggres Pemuda tahun 1928. Jika ditelaah secara mendalam akan hakekat maknanya, tampak bahwa beliau sangat memahami dan menjiwai tentang sejarah dan karakter bangsa Indonesia . Visi dan misi kebangsaannya penuh dengan nilai-nilai kejuangan, spirit kebangsaan, amanat, dan cita-cita bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan serta mengisi jembatan emas kemerdekaan hingga saat ini. Makna inti sebenarnya dimaksudkan untuk membangkitkan kita sebagai patriot sejati untuk peduli kepada bangsa dan negara agar menjadi bangsa yang beradab, berbudaya, bermartabat, dan maju serta memiliki prestasi yang tinggi. Namun demikian, dalam realita saat ini secara kasat mata bisa dilihat ternyata masih banyak ditemui orang-orang dalam segala profesi yang hanya numpang hidup untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya tanpa memperdulikan nasib anak bangsa lainnya. Orang-orang inilah yang disebut benalu atau parasit bangsa yang tidak memikirkan negeri tapi justru malah menghisap dan menggerogoti kekayaan negara serta menciptakan kerusakan bagi bangsa.
Pertanyaannya sekarang adalah “Sebagai apa dan dimana posisi diri kita masing-masing di kancah kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat ini?”
Apakah sebagai patriot atau nasionalis, atau justru sebaliknya hanya sekadar numpang hidup, benalu, atau bahkan sebagai perusak bangsa? Untuk mengupasnya berikut ini saya coba ungkapkan makna bait per bait lagu Indonesia Raya. Berkaitan dengan fenomena, dinamika situasi dan kondisi kontemporer sehingga nantinya bisa dijawab sesuai atau belum pemikiran, sikap, dan perilaku bangsaIndonesia pada umumnya dengan hakekat makna lagu kebangsaan tersebut.
Apakah sebagai patriot atau nasionalis, atau justru sebaliknya hanya sekadar numpang hidup, benalu, atau bahkan sebagai perusak bangsa? Untuk mengupasnya berikut ini saya coba ungkapkan makna bait per bait lagu Indonesia Raya. Berkaitan dengan fenomena, dinamika situasi dan kondisi kontemporer sehingga nantinya bisa dijawab sesuai atau belum pemikiran, sikap, dan perilaku bangsa
Kita mengakui bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan cakupan wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Rote hingga Miangas. Wilayah ini telah sah menjadi milik bangsa Indonesia . Secara kultural telah diakui oleh Perserikatan Bangsa-bangsa, secara budaya telah sah masuk dalam pangkuan Ibu Pertiwi, sedangkan secara spiritual wilayah itu merupakan “sertifikat” yang dianugrahkan Tuhan YME kepada bangsa Indonesia. Ini sejalan dengan pengakuan bahwa kemerdekaanIndonesia adalah merupakan berkat dan rahmat Tuhan YME. Konsekuensinya kita sebagai warga negara harus merasa memiliki, mencintai, dan menyayangi bumi pertiwi. Disini kita harus berperan aktif untuk menjaga, merawat, dan ikut serta melestarikan wilayahIndonesia agar tetap aman, nyaman, dan tenang. Baik ketika menjalankan peribadatan kepada Tuhan YME maupun tatkala berinteraksi sosial dengan sesama anak bangsa. Tetapi sebaliknya kalau merusak atau memberi andil bagi kerusakan di bumi Indonesia , membiarkan dan memfasilitasi bangsa lain untuk merusak dan menguasai tanah air kita, jelas berkhianat kepada pendiri bangsa, durhaka kepada ibu pertiwi, dan dosa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Cinta tanah air merupakan amanah bangsa, ibu pertiwi dan Tuhan YME, sehingga harus dipupuk dan ditumbuhkembangkan serta dilestarikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tamsil yang sederhana bisa meniru “masyarakat lebah”. Mereka akan marah dan secara spontan melawan jika tempat tinggalnya dirusak atau diganggu. Begitu pula sikap dan perilaku para pejuang pendiri bangsa yang telah rela mengorbankan jiwa dan raganya demi anak sucu, dan keturunannya agar hidupnya tidak sengsara. Dalam bahasa Jawa tindakan founding fathers itu diberi ungkapan “sak dumuk batuk sak nyari bumi dirungkepi lan dikukuhi nganti pecahing dada wutahing ludira” (walapun secuil atau hanya seluas tapak tangan tanah yang akan dirampas dan dikuasai bangsa lain akan dipertahankan hingga titik darah penghabisan).
Maka seandainya hutan dijarah dan dirusak, gunung digunduli, tambang dikuasai, laut diakui bangsa lain, dan wilayah diserobot oleh bangsa lain semestinya kita tidak boleh tinggal diam. Harus melakukan apa yang dilakukan oleh “masyarakat lebah” dan para pejuang bangsa, yakni melawan untuk mempertahankan diri. Bila diam atau membiarkan saja, berarti telah menjadi bangsa pengecut, bangsa yang tidak amanah, atau “tinggal glanggang colong playu”.
Tanah Tumpah Darahku
Siapa saja yang lahir di bumi Nusantara, secara budaya bertumpah darah Indonesia sebab pada waktu seorang ibu melahirkan maka ia telah menumpahkan ketuban dan darah serta menanam ari-arinya di bumi pertiwi. Karena kita lahir, makan, minum, mandi, tidur, buang hajat, dan tumbuh berkembang di sini semestinya tidak hanya sekadar mengakui bahwa Bumi Indonesia sebagai tumpah darah tetapi harus mengakui pula bahwa Negara Indonesia sebagai Ibu Pertiwi. Karena masih dalam pangkuan dan kandungannya maka rasa memilikinya dapat diistilahkan dengan “bumi dipijak langit dijunjung”.
Jangan menyia-nyiakan ibu pertiwi, kita harus peduli. Ibu pertiwi secara budaya juga sebagai makhluk Tuhan YME sehingga apabila kita semua ditimpa berbagai bencana seperti, banjir dimana-mana, tanah longsor dimana-mana, badai laut terjadi setiap saat, angin puting beliung, kebakaran terjadi dimana-mana. Kecelakaan di darat, laut, dan udara kerap kali terjadi, wabah penyakit pada manusia, binatang, maupun tumbuhan. Gempa bumi dan becana lainnya, sangat mungkin karena kita sebagai bangsa telah mengkhianati Ibu Pertiwi.
Selama ini kebutuhan hidup telah ditopang dari perut Ibu Pertiwi. Namun dalam perjalanannya kita telah memperlakukan Ibu Pertiwi dengan tidak bijaksana. Kita telah menyia-nyiakan dan menistakannya. Prakteknya telah terjadi salah manajemen dalam mengelola kekayaan alam. Disadari atau tidak, kita telah menyerahkan banyak pengelolaan sumber daya alam kepada pihak asing sehingga hasilnya tidak dinikmati oleh anak-anak bangsa tetapi justru diserap dan diperas oleh bangsa lain. Apabila fenomena ini tidak dihentikan dan kita tidak sadar untuk merubah sikab bisa diperkirakan akan terjadi deraan bencana yang bertubi-tubi dan tiada henti menimpa bangsa Indonesia .
Tinggal waktu yang menentukan kapan akan terjadi dan menghampiri semua, yang pasti akan menelan banyak korban. Seperti tsunami di Aceh telah memakan banyak korban, juga gempa di Yogjakarta dan di Sumatra Barat. Apa yang bakal terjadi seandainya gempa serupa mengenai wilayah Ibu Kota Republik Indonesia ? Dapatkah kita menghindarinya?
Kesalahan dan penyimpangan manajemen dalam pengelolaan Negara, secara kultur telah mengkianati para pendiri bangsa, secara budaya kita menjadi orang yang tidak tahu diri, dan secara spiritual kita tidak mampu menjalankan amanat Tuhan YME sebagai kalifah di muka bumi ini. Peringatan dari Tuhan YME melalui bencana secara bertubi-tubi dan silih berganti ternyata acapkali kita abaikan dan tidak dihiraukan. Kita sangat lemah dan rapuh dalam menanggapi isyarat alam ini. Bahasa alam yang sejatinya merupakan firman-firman Tuhan YME yang tidak tertulis. Dan telah dikebiri, dinafikan oleh nafsu kerakusan, keserakahan, keangkaramurkaan, serta kebodohan dan kepicikan.
Disanalah Aku Berdiri Jadi Pandu Ibuku
Negara Indonesia didirikan sebagai tempat berpijak dan bernaung serta menitipkan anak-anak bangsa yang dilahirkan oleh para ibu. Sebagai panduan hidupnya dibentuk lembaga yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia . Lembaga ini bertugas membina, mendidik dan mengatur anak-anak bangsa agar hidup tertib, teratur, dan berkeadilan. Untuk itu ditetapkan Dasar Negara yaitu Pancasila beserta Bhineka Tunggal Ika, UUD 45, Lambang Negara Garuda Pancasila, Bendera Negara Bendera Merah Putih dan lagu Kebangsaan Indonesia yaitu Lagu Indonesia Raya.
Negara Indonesia sejatinya didirikan di atas suku-suku bangsa di seantero nusantara. Suku-suku tersebut merupakan kelompok-kelompok yang secara nyata merepresentasikan eksistensi rakyat. Sehingga kedaulatan yang dimilikinya pun pada hakekatnya merupakan kedaulatan rakyat. Dalam hal ini rakyatlah yang berdaulat bukan daulat tuanku, bukan daulat pengusaha, bukan daulat penguasa, bukan daulat partai, bukan daulat bangsa lain, bukan daulat pasar ataupun bukan daulat-daulat lainnya.
Daulat rakyat berarti yang berkuasa dalam suatu Negara adalah rakyat. Semua lembaga negara mengabdi kepada rakyat. Birokrasi bekerja untuk kepentingan Rakyat. Semua yang dilakukan Negara ditujukan hanya demi kesejahteraan Rakyat. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bersumber dari Rakyat. Jadi sebenarnya APBN itu dibiayai oleh Rakyat. Dengan demikian “boss Negara adalah rakyat”. Pemerintah berperan sebagai pengelola atau penyenggara Negara dan bukan pemilik Negara. Gaji penyelenggara Negara “disubsidi” oleh Rakyat, jadi pada dasarnya bukanlah pemerintah yang menyubsidi rakyat.
Pancasila sebagai Ideologi Bangsa Indonesia . Pancasila merupakan ruh daulat rakyat. Lembaga Negara, UUD 45, TAP MPR, dan undang-undang yang lain sebagai satu kesatuan sistem bernegara. Di luar itu terdapat sistem yang mempengaruhi dan ada juga yang langsung terintegrasi dalam kehidupan bernegara. Untuk menggambarkan satu sistem tata Negara yang mekanistik dan ideal, bangsa Indonesia bisa mempelajari sistem yang bekerja pada tubuh manusia atau mekanisme kerja suatu komputer.
Sebagai ideologi bangsa maka Pancasila pada dasarnya telah meramu dan bersumber dari nilai-nilai kemanusiaan (humaniora), nilai-nilai religi, dan juga nilai-nilai spiritual. Ini berarti bahwa kehidupan bangsa Indonesia tidak hanya semata-mata mengatur interaksi antar manusia saja, tetapi di dalamnya juga sudah termasuk interaksi antara manusia dengan Tuhan YME.
Nilai-nilai religi adalah nilai-nilai agama yang diimplementasikan dalam hubungan antar manusia. Contoh nilai-nilai itu adalah: saling berkorban, saling membantu, saling gotong royong, saling bekerja sama, saling menghormati, saling menyayangi, saling mencintai, tidak melanggar; norma kebersihan, kedisiplinnan, ketertiban, keteraturan, norma kesopanan, norma hukum, dan norma religi. Juga selalu jujur, baik, adil, benar, taat kepada hukum, semangat dalam menjalankan hak, kewajiban dan pertanggungjawaban, tidak berprasangka buruk, menghakimi, benci, iri, dengki, dendam, sombong, takabur, selalu sabar, ikhlas, tawakal, pasrah.
Nilai-nilai spiritual berangkat dari nilai-nilai religi yang bersumber dari Tuhan YME. Dalam proses hidupnya manusia memasukkan kepercayaan kepada Tuhan YME yang berupa nilai-nilai spiritual ke dalam diri kita sebagai ruh sistem kehidupan ini. Ancaman virus terhadap Pancasila adalah faham feodalisme, imperalisme, liberalisme dan kapitalisme, matrealisme, sedangkan virus yang menyelemuti daulat rakyat daulat tuanku, daulat pengusaha, daulat penguasa, berdaulat partai, daulat bangsa lain, dan daulat pasar. Secara ideologis ancaman dari dan pengaruh dari luar itu adalah sistem materialistik, kapitalistik, liberalistik, liberalistik, dan feodalistik.
Sebenarnya pengembangan lembaga Negara, UUD, Tap MPR, UU, dan peraturan perundang-undangan turunannya baik di pusat maupun di daerah tidak boleh lari dari Pancasila dan kedaulatan Rakyat sehingga bangunan sistem kenegaraan Negara Indonesia utuh dan kokoh. Jika diibaratkan dengan sebuah bangunan gedung, dindingnya harus dibangun bertumpu diatas pondasi yang sudah disediakan, tapi kalau dindingnya dibangun diluar pondasi yang sudah ada maka bangunan itu akan roboh. Artinya Negara Indonesia ini berdasarkan Pancasila dan kedaulatan Rakyat, maka produk Lembaga Negara, UUD, Tap MPR, Kepres dan UU lainnya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan kedaulatan rakyat atau memasukkan unsur-unsur sistem matrealisme, kapitalisme, liberalisme, dan imperalisme, feodalisme, daulat tuanku, daulat pengusaha, daulat penguasa, berdaulat partai, daulat bangsa lain, daulat pasar, ke dalam Lembaga Negara, UUD, Tap MPR, Kepres atau UU lainya.
Indonesia Kebangsaanku- Bangsa dan Tanah Airku
Kebangsaan Indonesia terdiri dari Panduan Negara yaitu dasar Negara Pancasila, kedaulatannya di tangan rakyat, undang-undang dasar Negara - UUD 45, lambang Negara - Garuda Pancasila, bendera Negara - merah putih, dan lembaga Negara, Rakyat yang terdiri dari suku-suku bangsa yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Rote sampai Miangas. Kita menjadi bangsa itu yang utuh, jika dalam mekanisme kehidupun berbangsa dan bernegara menaati apa yang menjadi panduan Negara secara murni dan konsekuen, baik dalam mekanisme kehidupan bermasyarakat - memakai budaya bangsa maupun dalam aktifitas ekonominya - menyatu dengan sumber daya alamnya. Dengan demikian ciri khas atau indentitas bangsa menjadi jelas.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menyatukan antara panduan Negara, budaya bangsa, dan ciri kas tanah air bangsa. Dulu bangsa kita menjadi bangsa yang besar itu karena menjadi penghasil rempah-rempah atau sebagai Negara agraris. Seharusnya kebijakan penyelenggara Negara harus mengutamakan sektor pertanian. Jika pertanian diabaikan dan dikerdilkan bisa dikatakan kita sebagai bangsa telah kehilangan jati diri dan tidak jelas indentitasnya. Sebagai Negara Pancasila juga tidak, sebagai bangsa yang berbudaya tidak, menjadi negara agraris juga tidak.
Marilah Kita Berseru Indonesia Bersatu
Persatuan merupakan modal dasar untuk membina anak-anak bangsa, hancurnya bangsa ini sejak dulu paling mudah diprovokasi oleh kepentingan kekuasaan, mudah dipecah belah oleh orang-orang yang punya kepentingan pribadi atau kelompok, baik dari kalangan bangsa sendiri maupun dari kalangan bangsa lain. Maka kita wajib bersyukur kepada Tuhan YME bahwa kita sudah lepas dari “zaman digital” dan memasuki “zaman spiritual” tetapi wilayah Negara kita masih utuh, tidak seperti Uni Soviet dan Yugoslavia. Tetapi masih prihatin mengapa Rakyat masih suka berantem, dan masih mudah diadu domba, mungkin karena rakyat kita itu lapar, sengsara, menderita, miskin, ibarat sudah menjadi rumput yang kering sehingga mudah terbakar, itu mencerminkan bahwa persatuan dan kesatuan kita sudah rapuh. Sekarang ini saatnya kita menyingsingkan lengan baju untuk memperkokoh persatuan dan persatuan kembali seperti kita menghadapi penjajah jaman mbah kakung dulu karena situasinya sama hanya bentuk luarnya berbeda.
Kalau saya menilai, dengan melihat keadaan bangsa yang kacau balau dan carut marut seperti sekarang ini, pada hampir semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem kehidupan berbangsa dan bernegara ini sudah kena virus yang akut. Dalam konteks ini, sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejatinya berdasarkan Pancasila tetapi dalam realita dan implementasinya yang menonjol lebih banyak bercirikan sistem materialisme, kapitalisme, liberalisme, imperialisme, dan feodalisme. Ketika keteguhan dan konsistensi pada nilai-nilai ideologi goyah dan buyar maka sistem yang ada akan mengalami kecauan, dalam istilah operasi komputer kondisi itu bisa dikatakan mengalami kekacauan dalam pembacaan. Jika sistem berbangsa dan bernegara kacau maka akan kacau pula sistem dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kekacauan itu melahirkan matrealis-matrealis, kapitalis-kapitalis, hedonis-hedonis, kanibalis-kanibalis, predatoris-predatoris, dan feodalis-feodalis baik di desa maupun di kota . Dalam dunia pewayangan kondisi yang sedang terjadi saat ini diibaratkan sistem (disimbolkan Shinto) berada dalam genggaman Dosomuka yang mempunyai sifat sambat sebutnya jegang percoka belah iblis laknat podo jejekan mas picis raja brono ya dewaku, artinya orang yang adigang adigung adiguna atau sombong itu pribadinya pecah dan iblis yang terlaknat pada bersuara ria apalagi kalau tuhannya adalah materi, vasilitas, kekuasaan, dan perempuan itu lebih bersukaria. Dalam pribadi Dosomuka itu tuhannya adalah kemegahan dunia mempunyai 10 wajah, yaitu matrealisme, kapitalisme, liberalisme, imperialisme, feodalisme, matrealistik, kapitalistik, liberalistik, imperialistik, feodalistik bahkan lebih dari itu. Karakter Dosomuko ini sudah sejak dulu ada dan hidup di dunia global, dalam sistem Negara, masyarakat, dan pada pribadi orang perorang. Dalam konfigurasi ini, yang bisa menghancurkan sistem Dosomuko ini hanyalah Rama (satrio pinandita). Karena Rama sebagai suatu sistem spiritual atau Pancasila yang sambat sebutnya hong wilaheng sekaring bawono langgeng (artinya visi dan misinya hanya memayu hayuning bawana atau untuk menciptakan perdamaian dunia) dengan dibantu oleh Lesmana, Anoman, dan Wibisono. Lesmana (TNI yang tidak dikawini oleh penguasa atau partai tapi hanya setia kepada bangsa dan Negara Pancasila) - sambat sebutnya adalah duh jagat dewa batara dudu jagat pramudita (artinya lebih mengedepankan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi) maka Lesmana itu wadat atau tidak kawin. Anoman (Rakyat yang jujur, adil dan ikhlas) atau bersih yang sambat sebutnya seperti Lesmana. Kemudian Wibisono orang yang cinta kebenaran (sistem spiritual atau Pancasila) dan sambat sebutnya sama dengan Lesmana (tokoh politik yang memikirkan nasib bangsa dan Negara atau yang masih setia kepada Negara Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 45, Bendera Merah Putih dan NKRI).
Kalau saya menilai, dengan melihat keadaan yang sekarang ini nasionalisme kita sudah luntur kita sudah tidak memegang amanah lagi baik kepada pendiri bangsa, kepada ibu pertiwi maupun kepada Tuhan Yang Maha Esa, terbukti hutan kita dijarah dan dirusak kita diam saja, gunung digunduli diam saja, tambang dieksploitasi besar-besaran dan gila-gilaan oleh bangsa lain, sedangkan kita sendiri hanya kebagian kerusakan dan pencermaran lingkungan. Semangat nilai-nilai 45 kita sudah mulai memudar menjadi semangat nilai-nilai 67, mungkin saja merah putih kita telah memudar menjadi warna pelangi. Seandainya para pendiri bangsa masih hidup dan menyaksikan keadaan nasib bangsa seperti ini pasti beliau-beliau ini akan menangis yang tiada henti-hentinya, dan seandainya ibu pertiwi bisa bicara pasti akan mengadu kepada kita, kenapa badan tidak utuh lagi, kenapa badanku kena penyakit tidak diobati, kenapa badanku dirusak dan dikuasai diam saja malah ikut membatu dan memfasilitasi dengan Undang-undang untuk merusakku. Padahal sebenarnya kita semua sudah diingatkan oleh Tuhan dengan berbagai macam bencana tapi tetap saja masih sikap dan perilaku kita ndablek dan tidak tanggap, karena menganggap bahwa bencana alam yang terjadi merupakan siklus alam yang memang harus terjadi dengan sendirinya sehingga tidak perlu dipikirkan lagi. Fenomena ini menunjukkan bahwa kita telah menjadi bangsa yang sombong (pecah kepribadiannya) karena sebenarnya bangsa Yang Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi implementasinya menjadi bangsa yang sebaliknya.
Hiduplah tanahku
Tanah yang hidup adalah tanah yang menghasilkan apa-apa, sedang tanah yang mati adalah tanah tidak menghasilkan apa-apa. Hiduplah tanahku maknanya menghidupkan atau memberdayakan sumber daya alam. Untuk menghidupkannya harus di olah oleh sumberdaya manusia yang handal dan diserahkan kepada rakyat dengan manggunakan teknologi bangsanya sendiri. Dengan demikian hasilnya besar, dari pada dikelola oleh bangsa lain atau disewakan kepada bangsa lain atau dijual kepada bangsa lain. Dengan menggunakan teknologi bangsa lain sudah pasti hasilnya hanya dinikmati oleh bangsa lain. Sementara kita, sang empunya, hanya sebagai penonton atau hanya diperlakukan sebagai obyek bukan subyek pembangunan.
Pada situasi seperti itu yang perlu kita pikirkan adalah bagaimana caranya agar kita bisa mengolah tanah air milik kita sendiri, mencetak sumber daya manusia yang handal, dan menguasai teknologi yang unggul. Dari inilah peran dunia pendidikan sangat penting. Untuk itu pemerintah harus mengupayakan agar pendidikan di Indonesia bisa murah dan mendapatkan perhatikan khusus. Karena pendidikan merupakan hidup dan matinya tanah air. Bangsa yang bodoh ibaratnya seperti tanah yang kering kerontang. Kita punya kekayaan yang melimpah tetapi anak-anak bangsa tidak bisa mengolah tanah airnya dengan baik. Lebih celaka lagi, kita hanya menjadi tenaga kasar di negeri sendiri maupun di negeri orang atau hanya menjadi kuli atau jongos. Kita menjadi terkenal sebagai bangsa jongos yang sangat merendahkan derajat martabat bangsa. Tingkat kemartabatan bangsa Indonesia saat ini tengah berada pada posisi yang sangat mengenaskan. Terkenal sebagai bangsa yang korup ditambah lagi sebagai bangsa jongos. Padahal asset kita sangat banyak dan kekayaan berlimpah. Itulah konskuensinya sebagai bangsa yang bodoh dan tidak percaya diri.
Hiduplah Negeriku
Negara sebagai sistem kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bisa berjalan dengan baik apabila rakyatnya hidup dalam keadaan aman, rukun, damai, dan sejahtera. Tetapi realitanya apa yang terjadi. Mari kita perhatikan. Kita ini memiliki laut yang luas, hutan yang luas, ladang minyak yang banyak, batu bara melimpah, tanah yang subur, gas yang banyak, besi, tembaga, emas yang banyak, tanaman obat yang melimpah tetapi masih banyak anak bangsa yang kelaparan, tidur di bantaran sungai, tidur di pinggiran rel, tidur di bawah jembatan, jumlah penduduk miskin masih tinggi, banyak anak usia sekolah tidak bersekolah, angka pengangguran yang besar, banyak pengemis di jalanan, banyak orang gila yang tidak terurus, banyak rakyat yang stres, cemas, resah yang diikuti pula dengan meningkatkannya jumlah orang bunuh diri. Banyak rakyat yang merasakan kesulitan hidup karena biaya hidup mahal, biaya sekolah mahal, biaya rumah sakit mahal, biaya kuliah mahal, dan sebaginya. Kesulitan-kesulitan dan kenistaan itu memunculkan pertanyaan apa dan siapa yang salah di negeri ini. Apa salah sistemnya? Undang-Undangnya? Para pemimpin kita yang tidak berkwalitas? Atau justru rakyatnyalah yang salah dan keliru memilih para pemimpin karena bisa dibeli suaranya, tergiyur hanya oleh uang sebesar Rp. 20 ribu?
Kalau yang salah sistemnya ya sistemnya yang dirubah, karena sistem yang salah berarti mekanismenya tidak berjalan secara mekanistik. Sistem yang tidak mekanistik itu pasti mengalami dead lock. Langkah yang perlu ditempuh adalah para tokoh politik yang peduli kepada nasib bangsa dan Negara mestinya berkumpul mendiskuskan dan merancang sistem yang baik dengan memakai metode senjata milik Bima, yakni Godo Rujak Polo. Godo artinya alat perangnya Bima, Rujak itu artinya berbagai macam rasa dijadikan satu seperti rasa pedas, pahit, getar, asin, asam, manis, tawar, dan lain-lain dan biasanya terdiri dari buah-buahan, kemudian Polo itu artinya pikiran. Dengan begitu, meski setiap orang itu mempunyai pikiran yang berbeda-beda tapi kalau masing-masing mengaku dirinya merasa yang paling pedas sendiri, paling asin sendiri, malah tidak enak, karena makan terlalu manis bikin sakit gula, terlalu asam bikin perut, terlalu asin bikin sakit darah tinggi tetapi kalau dibuat rujak jadi enak, maksudnya para tokoh politik melebur keakuannya bersatu padu memikirkan mana yang tidak sesuai dengan Pancasila dan mana yang harus direvisi. Sudah tentu yang tahu dan paham tentang masalah ini adalah dari kalangan tokoh politik, rakyat tidak tahu apalagi rakyat yang ada desa-desa. Kalau mengandalkan DPR jelas tidak mungkin karena DPR sudah masuk angin sehingga sering tidak masuk kerja.
Kalau kita perhatikan sistem kehidupan yang baik itu adalah sistem kehidupan masyarakat sel, yang hidup dalam diri manusia. Bayangkan lebih dari 60 milyar sel hidup dengan harmonis, dalam sistem tersebut lembaganya jelas, fungsi darah mengikuti fungsi saraf, fungsi saraf mengikuti spirit. Dalam sistem ini jantung, otak dan spirit sangat berperan dalam mekanisme sistem kehidupan sel. Dalam konteks ini, jelasnya bahwa yang berperan dan berfungsi sebagai jantung adalah masyarakat poltik, peran dan fungsi otak dimiliki oleh masyarakat adat, sedang spirit dimiliki tokoh spiritual. Posisi tokoh spiritual mengontrol masyarakat adat, dan masyarakat adat bertindak sebagai pengontrol terhadap masyarakat politik. Dalam kenyataan yang ada selama ini masyarakat politik (lembaga MPR sampai kelurahan) secara formal tidak ada yang mengontrol. Fungsi legislative sebagai pengontrol tidak berjalan karena terjadi kolusi dengan eksekutif. Banyak kasus tataran masyarakat politik secara illegal melakukan penjualan asset milik masyarakat adat, bukan untuk kepentingan rakyat tapi untuk kepentingan pejabat sendiri. Kalau di desa saya namanya tanah OO atau tanah kas desa banyak yang sudah dijual dan tahu-tahu tanah itu sudah bersetifikat atas nama pejabat tertentu. Dan jangan-jangan hutan kita itu juga sudah dijual kepada para pemilik kapital besar dan Negara asing?. Untuk mengantisipasi semua itu sebaiknyalah diciptakan mekanisme sistem sel dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau yang salah Undang-undangnya ya undang-undangnya yang dirubah. Jika ada undang-undang itu yang tidak memihak Rakyat maka undang-undang itu harus direvisi. Ini merupakan tanggung jawab para tokoh politik. Para tokoh politik yang peduli akan nasib bangsa harus bersatupadu mengoreksi undang-undang yang tidak memihak rakyat menyampaikan kepada saluran yang benar, rakyat kecil itu tidak tahu apakah undang undang itu mengandung unsur-unsur matrealisme, kapitalisme, liberalisme, imperialisme, feodalisme. Yang tahu adalah para tokoh politik yang memahami tentang keindonesiaan. Rakyat kecil juga tidak tahu ketentuan di KUHP hukuman bagi orang yang mencuri ayam itu berapa bulan, orang korupsi Rp. 1 juta itu berapa bulan, orang korupsi Rp. 1 milyar itu berapa bulan, orang korupsi I trilyun itu berapa tahun. Menurut saya agar tidak terjadi diskriminasi hukum, hukuman itu mendasarkan kepada besaran UMR per hari, misalnya: kalau UMRnya Rp. 20 ribu, hitungan mudah orang desa tahu tinggal berapa besarnya tindak pidana yang dilakukan dibagi UMR ketemu lamanya hukuman berapa hari, berapa bulan dan berapa tahun. Jadi para penegak hukum seperti hakim, jaksa, dan pengacara mempunyai standar yang sama baik ketika mengajukan tuntutan atu ketika memvonis suatu perkara.
Kalau yang salah para pemimpin, itu menunjukkan mereka tidak berkualitas.Proses perekrutan seorang pemimpin haruslah melalui fit and proper test yang lebih ketat. Calon pemimpin harus dites oleh beberapa Profesor kalau perlu di tes oleh 25 Profesor yang kompeten dan independen dari berbagai macam jurusan seperti menguji mahasiswa ketika melakukan pendadaran. Sekarang di desa-desa itu sudah banyak anak bangsa lulusan S1, semestinya materi tes yang diujikan kepada DPR tingkat Kabupaten/kota setara dengan materi S1, di tingkat provinsi materi tesnya setara dengan materi S2, dan di Pusat materinya sekelas S3, meskipun para calon pemimpin syaratnya ditetapkan hanya lulusan SMU. Dengan mekanisme seperti itu, secara intelektual bisa dipertanggung jawabkan, karena kalau tidak di tes lebih dahulu, ketika tidak terpilih langsung stres, dan kalau terpilih tidak bisa bekerja dengan baik, karena memimpin Negara tidak segampang seperti memimpin kambing kalau sudah dapat rumput beres, apalagi sekarang bangunannya sudah terkonstruksi oleh globalisasi, maka kalau pemimpin tidak cerdas mudah ditipu bangsa lain, mudah didikte oleh bangsa lain. Disamping itu pola bekerjanya menjadi lambat karena ilmunya tidak nutut/menjangkau, sebagai contohnya banyak anggota dewan sering mbolos karena sudah stres dulu menghadapi pekerjaan atau kalau sidang ngantuk karena tidak nyambung antara materi yang dibahas dengan pikirannya. Senangnya hanya pas ambil gaji dan masa reses karena dapat uang saku atau tamasya ke luar negeri karena bisa piknik dengan dibiayai Negara tetapi sayangnya ketika pulang tidak menceritakan tentang study bandingnya tetapi yang diceritakan tentang oleh-olehnya karena bangga kalau miliknya itu buatan luar negeri. Kondisi ini jelas dan tegas sungguh-sungguh memalukan bangsa kita. Kalau model dan gaya para pemimpin seperti itu tidaklah sulit memprediksi tidak berapa lama lagi bangsa ini semakin hancur. Oleh karena itu kalangan partai politik ketika merekrut para kadernya harusnya tidak hanya bermodalkan uang, terkenal, dan tampang saja tapi yang utama adalah harus mumpuni di segala ilmu. Bangsa ini sudah mengalami multikrisis karena itu sudah tentu dibutuhkan seorang pemimpin yang berilmu multi disiplin. Ketiadaan kepemimpinan yang mumpuni akan kian memperpuruk kondisi yang tengah terjadi pada bangsa ini dan akan semakin menjerumuskan kemartabatan bangsa ini ke level yang paling rendah.
Mekanisme penyaringan para pemimpin negara, dalam pandangan masyarakat agraris penggambaran tingkatan tatanan masyarakat bisa menggunakan analogi pola dan kegiatan bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat petani di desa. Tahapan dan urutannya adalah sebagai berikut:
1. Sistem campur sari. Yakni penanaman oleh petani sambilan untuk memanfaatkan sedikit lahan di kebunnya. Pada umumnya ditanami berbagai macam tanaman yang isinya antara lain: jagung, singkong, pisang, tomat, timun, kol, terong, wortel, jahe, kencur, sawi, jipang, jadi satu, karena bukan petani professional atau hanya peteni sambilan sehingga cara memeliharanya sukup sederhana bahkan hanya dibiarkan tumbuh secara alami. Cara mencari bibitnya pun cukup unik, terkadang bibitnya diberi orang, atau mengambil di jalan, atau barang afkiran, atau menanam yang sifatnya coba-coba, atau tidak sengaja ditanam tapi tumbuh (thukulan). Kelemahan sistem ini adalah jenis tanaman yang besar akan mengalahkan yang kecil, sedangkan hasilnya hanya cukup untuk menunjang kebutuhan rumah tangga, dibagikan kepada tetangganya, atau hanya sebagai hiasan. Pada konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tatanan Negara yang wakil rakyatnya diperoleh dengan cara merekrut seperti nenanam tanaman dengan sistem Campur Sari bisa dipastikan akan carut marut atau kacau balau. Bayangkan saja kalau para pemimpim itu diambil dari orang yang tidak punya pengetahuan apa-apa hanya karena titipan teman, titipan pengusaha, atau orang pengangguran yang tidak punya profesionalisme dan tidak mempunyai wawasan yang luas tetapi hanya mengandalkan massa yang banyak, kutu loncat yang tidak didukung oleh idealisme tetapi oleh kepentingan, orang yang hanya mencari pekerjaan karena kesulitan mencari kerja, atau orang yang diambil karena berhubungan dengan keluarga. Akibatnya bisa diperkirakan sistem yang berjalan akan sangat lemah. Para pemimpin negara bak paduan suara di mana semuanya sudah ditentukan oleh yang kuat sedangkan yang lemah tinggal mengikuti. Inilah yang disebut demokrasinya mati dan fungsi partai hanya sebagai penyalur tenaga kerja.
2. Sistem Tumpang Sari. Model penanaman tumpang sari biasanya dilakukan oleh petani kecil atau spikulan yang tidak punya tanah yang luas, tanamannya pun hanya bersifatanut grubyuk, yaitu tanaman pokoknya berganti-ganti dan tanaman selingannya pun berganti-ganti disesuaikan dengan musim, selera sendiri, atau selera pasar. Sistem ini banyak keunikan, terkadang tanaman yang pokok tidak laku di pasar tetapi yang laku selingannya, atau sebaliknya yang laku tanaman pokok selingannya tidak laku, tetapi bisa pula dua-duanya laku di pasar atau bahkan dua-duanya tidak laku di pasar. Meskipun pada dasarnya tanaman selingan itu sifatnya hanya untuk memanfaatkan tanah sedikit kosong dari pada nganggur. Cara pembibitannya juga bermacam-macam menurut kebutuhan atau disesuaikan keadaan, artinya bisa beli di pasar, dari bibit sendiri, afkiran ataupun coba-coba. Sistem ini lemah, hasilnya juga kurang baik sebab petani dengan model ini tergolong petani spekulan, kalau pasarnya baik ya mujur kalau pasarnya jelek ya hancur karena sudah telanjur beli pupuk dan beli bibit tapi gagal panen, karena semua itu ditentukan oleh pasar. Sistem ini juga lemah karena kalau satu barisan terkena penyakit maka merusak barisan yang lain. Bayangkan saja kalau para pemimpin itu diambil dari orang yang hanya disenangi oleh ketua partai karena tidak pernah menentang atau yes man meski sang ketua hanya berpengetahuan sedang-sedang saja, seorang pengusaha yang mempunyai uang banyak karena trendnya dwi fungsi pengusaha, atau orang profesional yang disukai oleh pasar meskipun bukan bidangnya, seorang selebrity karena modenya selebrity menjadi politik dadakan. Hasil dari sistem lni lemah, contohnya adalah seperti sering bolos, malas bekerja, kalau bekerja ngantuk karena sudah stress dalam menghadapi perkerjaan sehingga tidak mampu memikirkan rakyatnya. Akibat berikutnya adalah menjadi wakil rakyat hanya sebagai kerja sambilan, cari kerjaan yang tidak punya beban berat atau cari obyekan proyek sebagai modal untuk terpilih lagi pada periode berikutnya sekaligus sebagai sumber dana untuk menghidupi partainya. Bukankah sebuah partai politik butuh dana, misalnya jika untuk mencalonkan Presiden atau agar partainya menang. Karena itu bisa ditengarai jika tatanan negara menerapkan sistem Tumpang Sari dalam perekrutan para pemimpinnya maka negara akan semrawut atau amburadul.
3. Sistem Gogo Rancah. Ini adalah pola penanaman yang dilakukan oleh petani profesional yang memiliki tanah luas, mempunyai konsultan, tanahnya bisa milik sendiri atau bisa sewa, atau bisa menggunakan teknologi sendiri atau bisa menggunakan teknonogi orang lain. Contohnya satu ladang ditanami jagung semua, satu ladang ditanami tebu semua, satu sawah padi semua, dan cara pembibitan sudah menggunakan teknologi mutakhir, dan melalui screanning yang ketat, sehingga yang ditanam itu bibit unggul, tanaman tahan penyakit, produksi tinggi, menarik para pembeli bukan karena kuantitas belaka tetapi kualitas, sehingga hasilnya tidak bisa diragukan lagi. Namun dalam sistem ini bagi petani hasilnya kurang maksimal karena harus sewa tanah, tenaga kerja, beli pupuk, konsultan, dan lain-lain. Dalam perspektif kenegaraan, wakil rakyat yang hakekatnya mewakili komunitas rakyatnya atau golongannya untuk kepentingan rakyatnya atau golongannya dengan screanning yang ketat namun yang menentukan undang-undang partai atau golongan juga partai atau golongannya masing-masing. Dengan demikan masih terjadi diskriminasi golongan, sebagai contoh: golongan petani diwakili oleh seorang ahli pertanian yang professional kemudian di Gedung DPR membahas masalah pertanian tujuannya untuk kemakmuran masyarakat petani, agar bisa maju dan hidupnya layak. Golongan yang lain juga demikian. Kelemahannya adalah jika antar wakil-wakil rakyat itu tidak mempunyai ideologi yang sama, atau mempunyai visi dan misi berbeda, apalagi jika wakil rakyat itu tujuannya hanya ingin jadi Presiden maka akan terjadi diskriminasi golongan karena yang jadi Presiden biasanya hanya akan memperhatikan kelompoknya saja agar nantinya tetap jadi Presiden.
4. Tepis Siring. Pola penanaman oleh petani sangat profesonal yang mempunyai tanah yang luas, tanah milik sendiri, pupuknya buatan sendiri, mempunyai teknologi sendiri, mempunyai organisasi yang kuat. Satu lahan ditanami jagung semua, satu ladang ditanami tebu semua, satu sawah padi semua, cara membibitnya sudah menggunakan teknologi mutakhir, dan melalui screanning yang sangat ketat sehingga yang ditanam itu bibit unggul, tahan penyakit, produksi tinggi, menarik para pembeli bukan karena kuantitas belaka tetapi kualitas, sehingga hasilnya tidak diragukan lagi dan mempunyai untung yang besar karena tidak sewa tanah, tidak beli pupuk karena pupuk sendiri, dan tidak bayar konsultan. Dalam konteks system kehidupan bernegara, pada tataran ini bisa dipahami bahwa wakil rakyat itu mewakili komunitas rakyat atau golongannya untuk kepentingan rakyat atau golongannya dengan screanning yang ketat kemudian membuat undang-undang partai atau semua golongan yang menjalankan Negara. Dengan demikian partai dan golongan mengikuti ketetapan negara sehingga mempunyai ideologi, visi misi dan kepentingan yang sama, contohnya: kalangan petani diwakili oleh seorang ahli pertanian yang profesional, kemudian di Gedung DPR membahas masalah pertanian dengan tujuan untuk memakmurkan masyarakat petani agar bisa maju dan hidupnya layak, demikian pula untuk golongan yang lain. Oleh karena wakil-wakil rakyat itu mempunyai ideologi yang sama, dan atau mempunyai visi misi yang sama, maka wakil rakyat itu memiliki tujuan hanya mengabdi pada rakyat (ratune nyembah kawulo: rajanya menyembah rakyat). Pada giliran berikutnya, agar tidak terjadi diskriminasi golongan atau partai maka seorang Presiden tidak boleh merangkap menjadi pemimpin partai atau kelompok.
Kalau yang disalahkan rakyatnya karena tergiyur uang Rp. 20 ribu. Ini ada benarnya juga ada salahnya. Benarnya adalah karena rakyat sekarang ini banyak yang miskin jadi uang Rp.20.000 merupakan jumlah yang lumayan, bisa untuk beli garam, gula dan sebagainya. Selain itu dalam kacamata mereka memilih pemimpin ibaratnya seperti membeli kucing dalam karung, semua calon yang ada tidak bisa menjanjikan Negara ini menjadi lebih baik malah-malah justru bisa bertambah parah. Jadi mendingan memilih calon yang ada duitnya. Disamping itu rakyat juga sudah mengalami kejenuhan karena seringnya diadakan pemilihan umum. Bayangkan saja, setidaknya rakyat minimal mengalami empat kali pemilihan umum dalam proses yang normal, yakni dari Pileg, Pilpres, Pilgub, hingga Pilbup/Pilwalkot. Untuk mengurangi kejenuhan dan mengurangi biaya Negara mestinya pemilihan Bupati dan Walikota, Gubernur dan Presiden itu sekali saja (dalam waktu yang sama) seperti memilih Wakil Rakyat yang dilakukan juga sekali. Kesalahan rakyat mau dibeli suaranya adalah mengajari kepada wakilnya untuk melakukan hal yang tidak benar yaitu money politik yang berdampak sangat berbahaya karena kemudian wakil rakyat yang terpilih/tidak terpilih dibebani biaya yang mahal. Di sisi lain orang-orang di partai meskipun mempunyai kemampuan kalau tidak punya uang tidak berani mencalonkan, akhirnya mencari calon orang yang punya uang yang misinya hanya dagang atau mencari pekerjaan, sehingga dia tidak mau rugi malah mencari keuntungan. Implementasinya wakil rakyat dijadikan pekerjaan bukanlah pengabdian. Inilah yang merusak sistem. Pemilihan umum bukannya menjadi ajang pesta demokrasi tetapi menjadi ladang hura-hura dan ladang broker politik dagang sapi. Semestinya rakyat pada saat memilih colon pemimpin jangan memilih pemimpin yang model dan karakter sebagai berikut:
1. Satriyo buta cakil, karena dewanya Buta Cakil itu mas picis rojo brono artinya dia selalu mengedepankan uang (uangnya menonjol), fasilitas, kedudukan dengan gaya sikut kanan sikut kiri, injak bawah jilat atas, sawur depan sawur belakang untuk mencari suapan ya menyuap.
2. Satriyo sumantri, dengan sifat dan tipe injak bawah jilat atas, sehingga dia itu selalu melupakan rakyatnya. Kalau kampanye pemilu bicara dengan rakyat kata-kata yang dipakai halus seperti gudir binendo dengan janji-janji yang manis dan muluk-muluk namun setelah jadi dia lupa akan janji-janjinya itu, bahkan lupa dengan rakyat, dan lebih ironisnya bahkan mementingkan dirinya sendiri dan partai ketimbang kepada rakyat.
3. Adipati Karna, karena dia mengabdi kepada yang menghidupi, tidak peduli kalau yang diabdi itu orang jahat, yang penting dapat kedudukan, jabatan dan bisa hidup, disuruh kesana ya kesana disuruh kesini ya kesini, disuruh ngomong A ya ngomong A disuruh ngomong B ya ngomong B, dan semua itu bisa disiasati dan bisa diatur asal bapak senang.
4. Kumbo Karno, dia mengabdi kepada tanah air, namun dia tidak bisa membedakan antara kepala Negara dan penguasa. Sehingga anggapannya bahwa kepala Negara dengan penguasa itu sama, sedang Dasomuka itu rajanya angkoro murka, dengan demikian pembelaan kepada tanah airnya itu masih keliru karena secara tidak disadari pembelaan itu justru melanggengkan hidupnya keangkaramurkaan.
5. Wibisana mengabdi pada Rama karena Rama mengabdi kepada sistem kenegaraan yang dibangun berdasarkan sistem spiritual, bukan sistem materialisme, kapitalisme, liberalisme, imperelisme, feodalisme, materialistik, kapitalistik, liberalistik, imperialistik, feodalistik. Untuk itulah Wibisana lebih baik mengabdi kepada Rama daripada mengabdi kepada kakaknya Dosomuka.
Rakyat semestinya jika memilih pemimpin hendaknya memilih pemimpin yang modelnya seperti Wibisono. Satriya ini mengabdikan dirinya kepada kebenaran meskipun kebenaran itu ada di negeri orang. Artinya dia tidak pateken akan jabatan (tidak haus jabatan) dan kedudukan pada pemeritahan yang sistem Negaranya bertentangan dengan hukum Tuhan. Maka kalau para pemimpin kita semua modelnya seperti Wibisono secara rasional krisis Negara mudah diatasi.
Bangsaku
Bangsa yang hidup adalah bangsa yang beradab, berbudaya, bermartabat, dan maju. Jelasnya, bangsa itu di dalam menjalankan mekanisme kehidupannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai itu adalah saling bekorban, saling membatu, saling gotong-royong, saling bekerja sama, saling menghormati, saling menyayangi, saling mencintai, tidak melanggar norma kebersihan, kedisplinnan, ketertiban, keteraturan, norma kesopanan, norma hukum, dan noma religi, selalu jujur, baik, adil, benar, taat kepada hukum, semangat dalam menjalankan tugas, hak dan kewajibannya tidak prasangka buruk, menghakimi, benci, iri, dengki, dendam, sombong, takabur, selalu sabar, ikhlas, tawakal, dan pasrah. Terjadinya pornoaksi, pornografi, korupsi, pembajakan lagu-lagu, beredarnya narkoba, pelacuran, pemerkosaan, perjudian, perampokan, suburnya markus, mark up, pemerasan terhadap tenaga kerja, pembunuhan, penganiayaan tenaga kerja, pencurian, penganiayan terhadap pembatu, hidup iklusif tidak mau membaur dengan tetangga, teroris, bentrok antar suku, ras, agama disebabkan karena nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika masih berada di wacana atau “masih melangit” dan belum membumi atau masih di atas pohon atau masih dalam bentuk seremonial saja. Untuk itu, dalam mengatasinya atau paling tidak mengurangi tindak kriminal yang semakin banyak kita perlu memberdayakan RT (Rukun Tetangga) yang merupakan Lembaga Kemasyarakatan dengan tugas, peran dan fungsi sebagai partner pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Ketahanan nasional berada dalam lingkup RT. Ini karena Ketua RT dan warga yang dipimpinnya sangat paham dan mengerti kegiatan dan aktifitas warganya dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan memberdayakan warga RT untuk menjaga lingkungannya masing-masing sesuai dengan batas wilayah yang jelas terutama di bidang pertahanan, keamanan dan kebersihan maka tindak kriminal bisa ditekan. Tugas polisi dan tentara yang ada di tingkat kelurahan selalu mengkordinasikan aktifitasnya dan berkerjasama dengan Ketua RT.
Rakyatku Semuanya
Rakyat hidup adalah rakyat yang sejahtera, baik secara ideologi, politik, social, budaya, pertahanan, keamanan. Dalam konteks ekonomi, perlu digarisbawahi bahwa terutama soko guru ekonomi adalah kerja sedangkan koperasi merupakan sistemnya atau cara mengatur kegiatan pereokonomian rakyat. Rakyat yang sejahtera adalah jika semua rakyat Indonesia mendapatkan perkerjaan, untuk itu tugas para pemimpin harus berpikir bagaimana caranya agar rakyat bisa bekerja semua. Karena jika rakyat berkerja semua, pendapatan dari pajak pun menjadi naik, dengan demikian anggaran APBN tidak perlu utang luar negri.
Bangunlah Jiwanya
Membangun, moral, mental, spiritual bangsa. Persoalan bangsa ini sebenarnya menempati prioritas yang paling krusial, yakni kerusakan moral, mental, dan spiritual bangsa. Tetapi rupanya selama ini kita telah salah dalam melakukan diagnose terhadap penyebab kerusakan negara. Mengapa? Karena ternyata yang rusak jiwa (moral, mental, dan spiritual) bangsa namun dalam kenyataannya yang dibenahi, ditata, direformasi, dan dirubah adalah struktur lembaga negara. Akhirnya keadaan bangsa ini justru dari sisi tata negaranya semrawut dan amburadul. Kalau setiap ada permasalahan yang berskala nasional harus dibentuk lembaga baru yang bersifat hanya darurat maka dampaknya negara ini terjebak dalam situasi kedaruratan atau masuk kategori Negara Darurat. Apa maknanya? Coba kita kaji bersama tentang keberadaan lembaga tertinggi Negara di Indonesia. Sudah ada MPR tapi seolah-olah tidak punya kerjaan malah membentuk MK, DPA dibubarkan malah membetuk Wantimpres, DPD sebagai anak tiri; Jaksa, Polisi masih ada tetapi dibentuk KPK, Satgas Markus, seolah-olah Negara ini merupakan barang mainan sehingga bisa diperlakukan dengan seenaknya sendiri. Padahal para pendiri Negara ketika membentuk kelembagaan negara ini sudah memperlajari kurang lebih 73 undang-undang dasar dari Negara-negara di seluruh dunia. Dalam kajian itu menurut pendiri bangsa, lembaga-lembaga yang ada telah disusun secara ideal. Kembali ke masalah jiwa bangsa, catatan yang penting adalah jangan harap Negara ini jadi baik kalau moral, mental, spiritual bangsa masih amburadul. Dalam perjalanan sejarah bangsa para leluhur dahulu yakin bahwa untuk bisa membangun bangsa menjadi bangsa yang besar haruslah dibangun dengan kekuatan moral, mental dan spiritual yang tinggi.
Bangunlah Badannya
Kita senantiasa harus selalu menjaga kesehatan badan kita. Ada ungkapan yang mengatakan badan sehat sangat mahal harganya, badan sakit lebih mahal harganya. Kalau badan kita sehat setidaknya kita bisa mencari uang dengan standar paling tidak sesuai dengan UMR, tapi kalau badan sakit kadang biayanya mahal melebihi UMR, karena rumah sakit sudah menjadi industri perdagangan jadi biayanya mahal. Saya punya tip agar badan selalu sehat yaitu dengan: Pertama, jangan makan bahan mengandung bahan kimia, seperti bahan pengawet, bahan pewarna, mecin dan lain-lain karena itu sangat berbahaya;Kedua, jangan makan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan kondisi badannya, dan jangan makan berlebihan; Ketiga, jangan makan bahan yang haram, olah raga yang cukup, istirahat yang cukup, mampu menjaga emosionalnya seperti, rasa takut, cemas, jengkel, marah, sedih, dan mampu menjaga nafsunya seperti harus selalu sabar, tawakal, iklas, dan parsah kepada Tuhan. Insya Allah badan selalu sehat.
Untuk Indonesia Raya
Untuk menuju Indonesia Raya syaratnya adalah tanah air kita ini harus diolah oleh bangsa sendiri, dengan teknologi bangsa sendiri, mekanisme kehidupan secara pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila, dan menjunjung tinggi kedulatan rakyat, selain itu semua undang-undang, TAP MPR, peraturan perundang-undangan dibawahnya dari pusat hingga daerah tidak betentangan dengan Pancasila. Dengan komponen-komponen tersebut maka terciptalah bangsa yang mempunyai identitas bangsa yang jelas, seperti: Negara mandiri, Negara Pancasila, Negara beradab, Negara berbudaya, Negara bermatabat, dan Negara yang maju. Negara yang maju jelas bukan Negara yang dihuni oleh bangsa jongos, bangsa korup, dan tidak berada dalam posisi Negara darurat.
Untuk menuju Indonesia Raya yang merdeka itu syaratnya tanah air kita ini harus diolah oleh bangsa sendiri, dengan tehnologi bangsa sendiri, mekanisme kehidupan secara pribadi, berkelurga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila, menjunjung tinggi kedulatan rakyat, semua undang-undang, TAP MPR, UU pusat daerah tidak bertentangan dengan Pancasila, tidak tergantung dengan bangsa lain dan tidak punya utang kepada luar negeri. Dengan demikian sudah mempunyai indentitas bangsa yang baik, seperti Negara mandiri, Negara Pancasila, Negara beradab, Negara berbudaya, Negara bermatabat, Negara yang maju, dan Negara prestasi.
Label: Makna lagu, Renungan
